PenaJurnalis,Sulteng.—Kisah pilu Arisan yang sedang berada di ladangnya untuk menanam jagung sementara azan magrib dikumandangkan.Dasyatnya guncangan gempa lumpuhkan kakinya untuk melangkah, pada Jumat 28 September 2018.

 

Zumiati sang istri yang sedang memasak di dapur terus berusaha untuk meloloskan diri untuk keluar dari rumah. Namun teriakan gempa sudah membuat rumah mereka menjadi loyoh.

 

Suara perabot yang ada di dapur tak mampu lagi menahan jatuhnya.Tanah tiba-tiba terbelah dan lumpur mulai mencuras deras bagaikan air yang mengalir deras.

 

“Tanah sudah tidak karuan. Naik turun. Tidak ada tempat berlindung. Kita mau injak tanah ambles lagi, tidak ada yang rata,” kata warga Biromaru, Sigi itu, Rabu (10/10/18).

Arisan menjadi saksi bisu saat rumahnya hanyut dan bergeser ke arah timur. Ia dan keluarganya segera menyelamatkan diri ke tanggul Petobo. Pria itu hanya bisa menatap sedih tempat tinggalnya yang hancur terbelah tiga, lalu ambles di tengah kubangan lumpur.

 

 

Menurutnya , tanah di kampungnya ambles sekitar 4 meter disebabkan lokasinya di daerah persawahan. “Di atas irigasi-irigasinya mungkin air meresap ke tanah semua. Makanya, tanahnya itu goyang,” kata Arisan.

Naas!! Ia hampi tak pernah mendengar hikayat atau legenda tentang tanah yang awalnya padat menjadi cair seketika seperti ombak di tepi pantai. Likuefaksi pun tak pernah terdengar di telinganya, Horor !!

Bukan Cuma itu, peristiwa serupa juga terjadi di kompleks Balaroa. Bahkan di sana lebih parah, Area seluas 47,8 hektare hancur karena likuefaksi. Sekitar 1.747 rumah ambles bersama segala isinya, termasuk manusia-manusia di dalamnya.

Zainal sedang ada di kantor saat gempa mengguncang. Ia pun lari tunggang-langgang menuju rumahnya di Perumnas Balaroa. Hatinya tak karuan memikirkan nasib istrinya, Hilda dan anak-anak mereka.

Belum sampai ke tujuan, ia bertemu keluarganya. “Kami melihat rumah kami masuk ke dalam tanah,” ucap dia. “Hampir 100 persen rumah rata dengan tanah, banyak korban meninggal.”

Tak hanya kehilangan tempat tinggal. Zainal juga kehilangan tujuh anggota keluarganya. Sementara, lima lainnya dipastikan meninggal dunia.

Kini, tak lagi ada seruan-seruan minta tolong yang sempat terdengar pada awal kejadian likuefaksi.

Tanah di Balaroa sudah mengeras, meski belum padat. Tim SAR, TNI, dan relawan terpaksa menggunakan alat berat untuk mengevakuasi korban yang masih tertimbun.

Karena likuefaksi berpotensi terjadi di tempat yang sama. Peristiwa mengerikan ini mungkin akan terulang ketika ada gempa melanda lagi . Entah kapan, tak ada yang tahu, hanya Pencipta lah yang punya punya keinginan.

Usai mengalami likuefaksi, tiga kelurahan di Kota Palu, Sulawesi Tengah, yaitu Petobo, Balaroa dan Jono Oge akan ditutup dan tak lagi dijadikan hunian masyarakat.Bongkahan tahan menjadi pemandangan di lokasi tersebut.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, pemerintah berencana membangun ruang terbuka hijau dan monumen untuk dijadikan sebagai tempat bersejarah.

“Lokasi likuefaksi itu akan ditutup dan akan dijadikan ruang terbuka hijau serta memorial parkatau tempat bersejarah dan akan dibangun monumen,” kata Sutopo di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Selasa (9/10/18).

Selain itu, ia mengungkapkan, para korban yang selamat dari musibah itu akan menggelar doa bersama untuk mereka yang tewas. Doa bersama rencana akan dilakukan pada Kamis besok.

Doa bersama itu juga bertepatan dengan berakhirnya masa pencarian korban di lokasi likuefaksi Kota Palu. Penghentian pencarian tersebut mempertimbangkan kondisi jenazah yang ditemukan dalam keadaan terurai dan sudah tak lagi dikenali.

“Korban yang berhasil dievakuasi, jika sudah 14 hari itu sudah melepuh atau susah dikenali. Jenazah yang ditemukan langsung dimakamkan, karena berpotensi menimbulkan penyakit,” ungkap Sutopo.

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan menghentikan pencarian korban meninggal dunia pada Kamis besok di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Wilayah yang akan dihentikan itu, yakni di Kelurahan Petobo, Balaroa dan Jono Oge.

Sutopo mengatakan, ketiga daerah yang dihentikan untuk pencarian korban itu merupakan wilayah yang terjadi atau terkena likuefaksi. “Jadi mulai 11 Oktober 2018 secara resmi proses evakuasi disetop,” kata Sutopo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *