Pena Jurnalis,Jakarta.— Fluktuasi  harga minyak yang terus mengalami kenaikan dan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa pendapatan perusahaan migas pelat merah tersebut tergerus sebesar Rp26,30 triliun,  akibat dari selisih harga jual eceran (HJE) formula dengan HJE penetapan pemerintah atas penyaluran jenis bahan bakar tertentu solar/biosolar dan jenis bahan bakar khusus penugasan pada 2017.

Namun PT Pertamina (Persero) belum berencana akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium kendati telah merugi.

Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito  mengatakan PT. Pertamina masih mengkaji masalah harga. Lagi pula saat ini kami terus fokus bekerja pasca – bencana di Palu dan sekitarnya,” kata di Jakarta Selasa (9/10/18).

Pihaknya juga enggan memberikan komentar terkait dengan beban Pertamina impor minyak mentah dan BBM.

Pakar energi dari Univer sitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, menilai dengan kondisi penguatan harga minyak mentah dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS, kebijakan harga BBM akan bergantung pada langkah yang diambil pemerintah.

Menurut dia, jika ingin konsisten, sebetulnya pemerintah sudah menyesuaikan harga BBM sejak pertengahan 2016 ketika mulai munculnya gap antara harga penugasan dan harga keekonomian.

Dia menambahkan, berbagai kalangan juga memproyek sikan harga minyak mentah akan terus menguat.

Namun, pemerintah sebagai pemegang saham, kata dia, masih bersikukuh tidak menaikkan harga BBM hingga 2019. Akan tetapi, langkah itu terlihat lebih nyata pada akhir November 2018 dengan mulai berlakunya penerapan sanksi Amerika Serikat untuk menghentikan ekspor minyak Iran.

“Kalau dampak kebijakan itu mulai berlaku harga minyak melonjak menjadi USD90- USD100 per barel, saya sudah tidak bisa komentar lagi karena semestinya harga BBM juga sudah naik tentunya, karena memberatkan fiskal dan keuangan Pertamina,” ujarnya.

Pri Agung menambahkan, jika harga minyak sampai dengan November tidak melonjak, pemerintah sudah siap dengan skenario tidak menaikkan premium dam solar.

Namun, pendapat berbeda dilontarkan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi. Menurut dia, Pertamina punya cara mengatasi kerugian akibat fluktuasi harga minyak dunia dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Fahmy mengatakan, Pertamina bisa memperoleh keuntungan dari penjualan pertalite, pertamax, dan premium. Keuntungan penjualan dari BBM jenis lainnya itulah yang dimanfaatkan untuk menutupi potential loss.

“Itu baru jualan di sektor hilir. Pertamina, kan, juga mempunyai usaha-usaha lain di sektor hulu dengan jumlah besar. Pemerintah memberikan juga blok-blok migas terminasi, seperti Blok Mahakam atau Blok Rokan untuk dikelola Pertamina,” katanya.

Fahmy menilai keuangan Pertamina tidak akan tergerus signifikan. Sebaliknya, Pertamina tetap memperoleh keuntungan dari keseluruhan pendapatan hulu dan hilir.

“Pertamina masih mencatat keuntungan, tapi memang tidak sebesar kalau menaikkan harga premium,” katanya.

Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa beranggapan pemerintah harus mempunyai kebijakan tidak merugikan Pertamina. Dia mengatakan, pada 2017 laba BUMN migas terbesar RI ini pun merosot 23% dibanding tahun sebelumnya, yakni USD2,41 miliar dari USD3,15 miliar yang pernah dicapai pada tahun sebelumnya. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *