Penajurnalis Maros,- Krisis air bersih tengah melanda Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros. Selain kecamatan Bontoa, warga di wilayah dataran tinggi seperti Cenrana juga merasakan dampak kurangnya pasokan air bersih.

Ketua Komisi I DPRD Maros, Abidin Said meminta pemerintah segera mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan air bersih didaerah pesisir kabupaten Maros.

Menurutnya kekeringan di wilayah tersebut sudah meluas dan menyebabkan warga kesulitan memperoleh air bersih.

Bahkan kondisi keterbatasan air bersih diakuinya sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

“Kondisi ini sebenarnya sudah masalah tahunan, harus segera diatasi,” katanya, selasa (9/8/23).

Politikus Nasdem itu mengaku, masalah kekeringan masih terus menjadi pembahasan di rapat-rapat DPRD.

Makanya ia meminta pemerintah daerah untuk menyiapkan anggaran khusus untuk penyelesaian kekeringan di beberapa daerah.

“Mungkin bisa dengan bekerja sama dengan beberapa ahli untuk mencari mata air, jadi bukan hanya soal suplay menyuplai tapi harus memang ada mata airnya,” tutupnya.

Diberitakan sebelumnya, krisis air bersih masih terus dirasakan masyarakat di Dusun Panaikang, Desa Pajjukukang, Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Untuk bertahan di tengah krisis air bersih, warga mengandalkan sumur tadah hujan. Namun, sumur tadah hujan ini sudah mulai mengering.

Seorang warga, Rina menyebutkan krisis air bersih sudah mulai dirasakan warga sejak 3 bulan terakhir. Ia menyebutkan sejak 3 bulan juga, warga bergantung dengan sumur tadah hujan.

Rina menjelaskan warga sekitar tiap pagi atau sore hari selalu memadati lokasi sumur tadah hujan untuk mengambil air.

“Kadang ada yang jalan berkilo-kilo meter untuk ambil air,” ujarnya.

Saat ini, kata dia, sumur tadah hujan mulai mengering. Air yang tersisa, tercampur dengan sampah plastik, sehingga tak jarang terasa gatal usai digunakan.

“Kadang gatal-gatal, tapi mau bagaimana lagi,” ujarnya.

Memang ada pilihan lain bagi warga untuk menghadapi kondisi ini, yakni membeli air. Namun, harganya cukup mahal dan dirasa sangat membebani ekonomi keluarga.

“Namun harganya mahal, air setangki harganya Rp 160 ribu, itu hanya digunakan mandi dan mencuci, biasanya cuma dipakai 3 hari saja,” ujarnya.

Warga lainnya, Asisah terpaksa mengambil air di sebuah empang yang airnya tawar. Hal ini dia lakukan karena akses ke sumur tadah hujan mencapai dua kilometer.

“Masih ada sumur lain, tapi jaraknya sekitar dua kilometer jauhnya. Makanya kami cari empang yang airnya tidak asin untuk mandi dan cuci piring. Sedangkan untuk air minum kami beli air galon,” jelasnya.(A1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *