Penajurnalis Bengkulu,-Sp8 Trans Muara Sahung, Desa Cinta Makmur, Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.

Desa yang berjarak sekira 100 kilometer dari pusat kabupaten Bahkan, di desa yang berjarak sekitar 15 km dari pusat kecamatan ini, terdapat bangunan sekolah dasar (SD),

yang jauh dari sempurna. Khususnya, dalam dunia pendidikan. SD yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempa menpunyai sarana dan prasarana sangat memprihatinkan.Bangunan sekolah itu sudah mulai rapuh termakan zaman.

Kondisi itu ditandai dengan bagian dinding bangunan sudah rapuh, atap sudah bocor, serta banyaknya dinding bangunan berlobang. Terlebih lagi, bangunan yang berukuran sekira 4 x 1,5 meter itu selalu berlumpur ketika dilanda hujan. Sebab, lantainya bangunan masih tanah kuning.

Walau demikian, demi pendidikan dua ‘Kartini’ asal Desa Cinta Makmur, Ahliah dan Wiliarni bangunan reyot tersebut dijadikan tempat kegiatan belajar mengajar (KBM). guna memberikan pelajaran kepada anak-anak di desa terpencil itu.

Lebi menprihatimkan guru di sana hanya dibayar dengan ucapan terima kasih oleh orangtua murid setiap bulannya. Namun, hal tersebut tidak membuat surut empat guru yang masih berstatus honor untuk memberikan pelajaran kepada 45 murid SD, di desa yang dihuni oleh 125 Kepala Keluarga (KK) itu.

Hal tersebut, lantaran dari guru sama sekali tidak ada memungut biaya seperser pun kepada orangtua murid. Sehingga mereka mesti bekerja secara sukarela selama dua tahun sejak bangunan sekolah itu berdiri. Tepatnya, pada tahun Juli 2006 hingga Juli 2008.

Penginisiasi pembangunan SDN 129 Kaur, Ahliah (38) mengisahkan, awal mulanya pendirian sekolah tersebut karena jauhnya akses sekolah yang mesti ditempuh kalangan anak-anak di desa yang dihuni oleh 497 jiwa tersebut.

Sebab, cerita dia, desanya itu masih banyak hutan dan perkebunan. Sehingga tidak memungkinkan anak-anak melintas di kawasan tersebut. Terlebih lagi, jarak tempuhnya mencapai 3 kilometer (km) untuk menuju sekolah di desa tetangga. Ditambah, akses jalan yang masih tanah kuning bercampur lumpur.

Berangkat dari kondisi tersebut, lanjut Ahliah, dirinya bersama rekannya, Wiliarni mengajak masyarakat setempat untuk secara bersama membangun SD, di atas lahan tanah miliknya dengan luas sekira 45 x 85 meter.

Di mana seluruh bahan bangunan dibeli secara swadaya atau sumbangan sukarela dari masyarakat. Mulai dari, papan, balok, seng, paku, meja dan kursi belajar serta perlengkapan dan peralatan penunjang lainnya.

”Bangunan sekolah itu dibuat secara swadaya. Bangunan sekolah itu dibangun di atas lahan milik saya yang diwakafkan,” kata Ahliah, kepada awak media, baru-baru ini.

”Sejak aktif kami berdua, sama sekali tidak ada menerima honor atau gaji dari orangtua. Kita bekerja secara ikhlas saja. Cukup dengan ucapan terima kasih, hal itu kita alami pada tahun 2006 hingga Juli 2008 lalu,” sambung Ahliah.

Bangunan sekolah yang jauh dari layak tersebut atau mirip dengan ”kandang kambing” itu hanya ada beberapa meja dan kursi untuk murid SD, kondisinya sudah reot. Ruangan itu digunakan untuk murid SD Kelas I, II dan Kelas III, yang digunakan secara bergantian dalam proses KBM setiap harinya.

”Ruang kelas itu digunakan secara bergantian. Bangunan itu dipisahkan dengan pembatas papan antara kelas,” jelas Ahliah.

Pelajaran yang disajikan kepada murid SD sama seperti murid SD lainnya di Kabupaten Kaur. Sebab, kata dia, hal tersebut sesuai dengan aturan dari Dinas Pendidikan. Begitu juga dengan jam belajar.

”Mata pelajaran tidak ada bedanya dengan murid SD lainnya,” imbuhnya.

Penginisiasi pembangunan SDN 129 Kaur lainnya, Wiliarni mengatakan, sejak sekolah berdiri hanya ada enam guru. Rinciannya, empat guru yang berstatus honor, dua orang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), yakni Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah.

Pengangkatan honor itu, ulas Wiliarni, pada tahu 2008 silam oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kaur, dengan diterbitkannya Surat Keputusan atau SK. Sejak diangkat menjadi honor, aku dia, mereka hanya mendapatkan honor sebesar Rp50 ribu hingga Rp75 ribu setiap bulannya.

Selain itu, tambah dia, sejak berdirinya sekolah hingga saat ini status guru honor sudah menjadi dijalani mereka tidak kurang dari 10 tahun. Namun, status honor tersebut belum begitu mendapatkan perhatian secara serius oleh pemerintah setempat.

”Kita berharap guru di sini juga mendapatkan perhatian dari pemerintah,” harap Wiliarni.

Selanjutnya, terang dia, pada tahun 2012 dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kaur, memberikan bantuan pembangunan dua ruang kelas yang berukruan sekira 10 x 5 meter. Bangunan itu, kata dia, untuk murid kelas 4 dan kelas 5 serta dijadikan ruang kantor.

Saat ini, ujar Wiliarni, murid SDN 129 berjumlah 45 orang. Rinciannya, kelas I sebanyak 4 orang, kelas II sebanyak 8 orang, kelas III sebanyak 10 orang, kelas IV sebanyak 11 orang dan kelas V sebanyak 11 orang.

”Untuk tahun ajaran 2017/2018 murid kelas VI sudah ada di sekolah ini. Ujian Nasional akan kita lakukan di SD ini pada tahun ajaran 2018/2019 mendatang,” pungkas Wiliarni.

Bupati Kabupaten Kaur, Gusril Pausi mengatakan, pemerintah kabupaten (Pemkab) akan serius memperjuangkan kalangan guru-guru di desa terpelosok di desa. Sebab, kata dia, dunia pendidikan sangat penting untuk mendapatkan perhatian yang sama dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Kaur.

”Kondisi ini akan kita perhatikan. Terutama pendidikan di pelosok desa. yang jelas, semua kebutuhan dan penunjang akan kita penuhi secara bertahap,” tutur Gusril.(TIM)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *