PenaJurnalis,Blitar.——- Tak berubah, hanya berganti pemeran. Kasus yang sama, seakan tidak bisa lepas dari mereka yang berjuang di Luar negeri. Tidak dibayar, padahal sudah beberapa tahun bekerja.

Pekerja migrant Indonesia legal itu atas nama Anisatul Zumaela (AZ ) .Saat ini Migrant Care mendampingi satu pekerja migrant Indonesia legal dan 8 yang ilegal untuk kasus yang sama. Mereka tidak dibayar setelah bekerja beberapa tahun di Malaysia.

Warga Dusun Jepun Desa Tegalrejo Kecamatan Selopuro Kabupaten Blitar terbut. Dia bekerja di bidang non formal sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Berangkat sejak September 2013 sampai Januari 2018, diberangkatkan dan ditempatkan oleh PT Mitra Sinergi Sukses dan agensi Formas sdn.bhd.

Sesampainya di Johor Bahru Malaysia, AZ dipekerjakan dimajikan sebagai pengurus orang jompo. Padahal dalam perjanjian penempatannya, dia akan bekerja sebagai PRT. Karena tidak sesuai dengan job, AZ meminta agensi untuk mencarikan majikan baru.

Di majikan baru, AZ mengalami eksploitasi kerja. Dia harus bekerja berpindah-pindah di 5 rumah saudara majikannya dan juga mengurus anjing. AZ sempat kabur karena tidak kuat dengan beban kerjanya yg berat, namun tertangkap anak majikannya. Perempuan bertubuh mungil ini harus kembali bekerja hingga dirinya dipulangkan Januari 2018 lalu.

“Selama lima tahun bekerja, AZ ini hanya dibayar Rp 30 juta. Itupun dikirim setelah dia kembali ke Indonesia. Padahal sesuai perjanjian, AZ berhak mendapatkan gaji sebesar Rp 100.040.000. Saat ini kami mendampingi dia mendapatkan haknya itu,” kata Koordinator divisi Bantuan Hukum Migrant Care, Nurharsono Jumat (29/3/19).

Saat ini, telah dilakukan mediasi selama 3 kali di PTKLN Kementerian Ketenagakerjaan RI. Pihak Naker telah mengirim surat kepada PT Mitra Sinergi Sukses agar bertanggung jawab melunasi gaji AZ ini. Namun pihak pengerah tenaga kerja itu justru kompak dengan majikan dan agen menyalahkan AZ dengan tuduhan melakukan tindak pencurian.

Enam di antara pekerja migrant Indonesia ilegal itu berhasil pulang dari uang tip service yang diberikan para pemain golf. Mereka semuanya warga Jawa Timur. Terdiri dari dua warga Kabupaten Blitar, Jombang, Pamekasan-Madura dan Lumajang.

“Dua teman kami satu kelompok yang dari Turen Kabupaten Malang belum bisa pulang. Mereka makan dari uang tip yang diberikan pemain golf,” kata pekerja migrant Indonesia ilegal asal Blitar, Samsul Maarif pada detikcom di rumahnya Kecamatan Sutojayan.

Betapa rumitnya memperjuangkan hak bagi pekerja migrant Indonesia legal. Padahal, saat ini sekitar 50 pekerja migrant Indonesia ilegal sedang meratapi nasibnya di Selangor, Malaysia. Mereka tidak bisa pulang, karena tidak dibayar sesuai perjanjian oleh sang mandor. Mereka bekerja di Golfersmate di kawasan Putaling Jaya Selangor Malaysia.

Ke-8 pekerja migrant Indonesia ilegal ini berangkat ke Malaysia secara bertahap pada tahun 2014. Mereka bertahan di mess tempatnya bekerja selama 5 tahun. Pada Juni 2018, mereka menyerah dan memutuskan untuk pulang.

“Kami berdelapan ini, seharusnya bawa gaji hampir Rp 800 juta. Tapi sampai kami tiba di kampung, uang gaji itu belum juga dikirimkan. Kemana kami harus minta tolong ini,” keluh Samsul dengan wajah kelu.

Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mengaku telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kasus itu. Di antaranya, menggandeng tokoh masyarakat dalam edukasi, mediasi dan advokasi para pekerja migrant Indonesia.

“Baik legal maupun ilegal, pemerintah tetap menangani. Makanya self and early profection harus diterapkan untuk menekan timbulnya kasus para pekerja migrant Indonesia,” ujar Deputi Perlindungan BNP2TKI, Anjar Prihantono .

Selain menggelar menggelar beragam sosialisasi perlindungan hak pekerja migrant, BNP2TKI juga menyiapkan call center pengaduan di nomor 08001000. Namun rupanya, sebagian besar pekerja migrant Indonesia belum mengetahui hal itu.

“Mereka memilih menghubungi saya, yang siap menerima aduan 24 jam. Dan menghubungi teman senasib untuk urunan, biar mereka bisa pulang. Untuk urusan gaji, memang sebaiknya dimediasi pemerintah yang punya kewenangan jelas,” pungkas Sucipto yang dikenal sebagai pembela kaum buruh migrant di perantauan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *